CARA MENUMBUHKAN EMPATI
Sikap
berempati adalah sikap yang ditunjukkan untuk memahami apa yang dirasakan atau,
lebih tepat, untuk memahami apa yang Anda akan merasa seperti jika Anda berada
dalam situasi itu. Ini adalah perluasan dari konsep diri, tapi jauh lebih
kompleks. Hal ini membutuhkan suatu kesadaran bahwa orang lain menganggap diri
mereka dengan cara yang baik mirip dengan dan berbeda dari cara yang Anda
lakukan, dan bahwa mereka juga memiliki emosi mereka persekutukan dengan
pikiran-pikiran dan gambar.
Kita
membutuhkan dua kaca sekaligus, yaitu kaca cermin dan kaca jendela. "Kaca
Cermin" menggambarkan sikap egosentris, melihat persoalan hanya dari sudut
pandang diri sendiri. Sedangkan "Kaca Jendela" merupakan cara
mengetahui dan melihat kepentingan orang lain, di samping diri sendiri. Kita
harus mengangkat sebagian kaca cermin dan menggantinya dengan kaca jendela.
Melalui kaca jendela, seseorang tidak lagi melihat dirinya sendiri, tetapi
mereka juga melihat orang lain di sekitarnya dengan berbagai kebutuhannya.
Mengubah kaca cermin dengan kaca jendela adalah langkah penting agar perhatian
seseorang tidak hanya tertuju ke dalam (self centered), melainkan tertuju ke
luar kepada orang lain sehingga ia mudah merasa iba kepada orang lain (extra
centered sensitivity).
Khalifah
Umar bin Khattab merupakan salah satu tipe orang yang berusaha mengerti kondisi
rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia kerap memasuki pelosok-pelosok kampung
yang termasuk wilayah kekuasaannya. Ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan
rakyatnya. Ia pun mengangkut sendiri karung berisi gandum untuk diberikan pada
wanita tua yang mempunyai anak-anak yatim. Umar melihat wanita itu memasak batu
untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar. Umar bahkan pernah
berujar, "Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada
seekor keledai mati di Syam karena kekeringan." Itulah jangkauan empati
dan kepedulian Umar bin Khattab ra.
Begitulah
empati. Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk
peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan
orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Peduli atau empati
tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan dalam tahap menanggapi dan
melakukan perbuatan yang diperlukan orang lain. Persis sebagaimana sabda
Rasulullah saw, "Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu
tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan
merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk
dapat bersikap peka dan peduli dibutuhkan tingkat kematangan kepribadian
tertentu. Para pakar ilmu komunikasi dan pendidikan menilai bahwa kepedulian
atau empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional.
Sebabnya antara lain, karena untuk berempati kita harus mampu mengobservasi dan
melibatkan banyak panca indera.
Ada
dua modal dasar yang harus dimiliki oleh seseorang agar memiliki empati.
Psikolog Michael Nichols dari Albany Medical College menyebutkan, dua modal itu
adalah "mengerti dan menerima". Pengertian dan penerimaan sangat
penting bila seseorang ingin menunjukkan kepeduliannya. Mengerti apa yang
dirasakan orang lain, dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka dan
menerima keadaan itu.
Ada beberapa
langkah praktis agar kita bisa belajar menanamkan rasa empati dan peduli:
A. Pertama,
kenali perasaan sendiri.
Prosesnya
adalah dengan meraba dan menghayati berbagai perasaan yang berkembang dalam
diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu dan sebagainya. Mengenali
perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan kecerdasan emosi. Orang yang
mengenali perasaan diri, biasanya mampu mengendalikan emosinya, sehingga ia
tidak melakukan tindakan gegabah saat mendapati kenyataan di luar dirinya yang
berbeda dengan keinginannya.
B. Kedua,
sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi.
Ini
sebenarnya termasuk proses pengenalan dan pengendalian emosi. Karena biasanya
orang sulit mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi
emosi yang bermacam-macam. Pasangan suami isteri umumnya merasa lebih empati
satu sama lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa
bersalah biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja,
di masjid saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat malam dan sebagainya.
Dalam waktu-waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali
berbagai masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan
memperbaiki terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik
kepadanya.
C. Ketiga,
cobalah memandang masalah dari sudut pandang orang lain.
Empati
adalah ketika kita dapat merasakan, apa yang orang lain rasakan dan juga dapat
melihat masalah dari sudut pandang mereka. Masukilah dunia mereka dan cobalah
memandang masalah dari sisi tersebut. Dengan demikian, pihak lain tidak saja
hanya merasa dimengerti tapi ia merasa lebih disukai. Dalam hal ini, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan hendaknya seseorang memberi 70 alasan udzur atas
kesalahan yang dilakukan oleh saudaranya. Artinya, seseorang diminta untuk
berusaha sebanyak mungkin memandang sesuatu yang tak mengenakkan itu dari sudut
pandang pelakunya. "Bila engkau tetap tidak menerima 70 alasan tersebut,
katakanlah pada dirimu: "Kasar sekali engkau, 70 alasan telah diajukan
oleh saudaramu, tapi engkau tetap tidak menerimanya. Engkaulah yang bersalah,
bukan saudaramu…" (Raudhatul Muhibbin, 11470). Dengan memahami sikap ini,
memaksakan kehendak bisa dihindari. Banyak kekacauan muncul, karena adanya
pemaksaan kehendak dan kurangnya upaya memahami.
D. Keempat,
jadilah pendengar yang baik.
Kita
lebih mudah merasa empati, memahami perasaan orang lain dan menempatkan diri
dalam keadaan orang lain, kalau kita dapat mendengar apa yang dialami orang
tersebut. Tidak hanya kemampuan mendengarkan secara seksama, tapi juga membaca
isyarat-isyarat non verbal. Sebab, seringkali bahasa tubuh dan tekanan suara
lebih efektif menggambarkan perasaan ketimbang kata-kata. Orang tua misalnya,
harus mampu meningkatkan kemampuan "mendengarkan" suara hati
anak-anaknya. Anak-anak pun harus belajar "mendengarkan"
lingkungannya, agar ia bisa terampil dalam kehidupan sosial. Anjuran
mendengarkan berarti mengajak kita membuka pintu komunikasi dengan berbagai
obyek. Informasi yang diterima dari banyaknya komunikasi itulah yang akan
menjadikan kita bisa memahami dan mengerti.
E. Kelima,
biasakan menghayati fenomena berbagai hal yang kita jumpai.
Misalnya,
saat kita melihat seorang tunanetra di tengah keramaian, nyatakan dalam hati
betapa sulitnya orang itu memenuhi kebutuhannya. Langkah ini biasanya berlanjut
dengan kesanggupan menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Ketika mendapati
anak-anak yang mengamen di jalanan hingga larut malam, misalnya. Katakanlah
pada diri sendiri, bagaimana jika mereka itu adalah anak-anak kita. Jika
menyaksikan himpitan rumah gubuk di pinggiran rel kereta, bayangkanlah bila
keadaan itu dialami oleh keluarga kita. Dan seterusnya. Setiap muslim harus
memiliki sikap seperti ini. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang
tidak peduli dengan nasib urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan
kaum muslimin, " (HR Thabrani).
F. Keenam,
berlatih mengatur dan mengatasi gejolak emosi dalam menghadapi reaksi positif
maupun negatif.
Di
sekitar kita, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di rumah,
seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang istri
mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Di jalanan seorang sopir bisa
menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya
mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu.
Rasulullah
adalah pribadi yang sangat lembut dan empati terhadap isterinya. Saat Aisyah ra
jatuh sakit akibat beredarnya kabar bohong (haditsul ifki) yang menuduhnya
berselingkuh, Rasulullah saw menyempatkan diri menjenguk Aisyah di rumah orang
tuanya, Abu Bakar ra. Di sana Rasul menenangkan Aisyah. Sementara itu, Utsman
ra lebih dulu merawat isterinya Ruqayyah yang jatuh sakit, meski saat itu ia
sangat menggebu untuk terlibat di medan jihad.
G. Ketujuh,
latihan berkorban untuk kepentingan orang lain.
Sebuah
studi di Harvard University, Amerika Serikat, menunjukkan adanya keterkaitan
yang jelas antara besarnya tanggung jawab seorang anak, dengan kecenderungan
bersedia mementingkan orang lain. Empati sangat berhubungan dengan kesediaan
berbuat baik (altruisme). Empati yang tinggi memperbesar kesediaan untuk
menolong, untuk berbagi dan berkorban demi kesejahteraan orang lain.
Kesanggupan untuk berempati sendiri adalah kesanggupan yang ada pada tiap
orang. Islam juga menganjurkan orang yang memasak sayuran memperbanyak kuahnya
untuk diberikan pada tetangga. Biasakan mensyukuri nikmat Allah, apapun
bentuknya, dengan memberi sebagian dari apa yang kita miliki untuk orang lain,
terutama yang membutuhkan.
Sumber:
http://phietablogdiary.blogspot.com/2009/06/pengertian-empati-1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar